Benang Kusut di Kepala

Thursday 21 September 2017
http://artimimpi.me

Tulisan ini datang dari obrolan menyenangkan ketika bertemu dengan dua sahabat terbaik saya. Mengobrol banyak hal yg menyenangkan pun bermanfaat ternyata adalah upaya membersihkan isi kepala. Ibarat menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Bertukar banyak hal, banyak cerita yang lama barangkali hanya menjadi pemikiran dan pemahaman diri sendiri, yang semua itu kemudian menjadi benang kusut di kepala saya. Iya kepala saya sendiri ini adalah benang kusut untuk segala hal yg saya amati dan yang saya pikirkan sendiri. 

Benang kusut pertama adalah persoalan menikah. Memasuki kepala dua dan telah menyelesaikan studi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “kapan nikah?” atau “kapan nikah? Kan udah pacaran lama kok belum dihalalin? “ dan beberapa kalimat lainnya yg dipanjangkan atau dipendekkan tapi tidak mengurangi sedikitpun intinya. Saya hanya akan menjawab “insyallah tahun depan, saling doa aja” sembari senyum. Itu jawaban paling aman menurutku karena isinya juga berupa doa, iya tahun depan, semoga, barangkali saat jawab begitu langit terbuka dan diijabah sama Pemilik Semesta. Amin 

Dalam hidup yang singkat ini, saya termasuk orang yang selalu berusaha sederhana dalam segala hal. Termasuk mengenai pasangan hidup. Kriteria tak muluk-muluk, selama baik agama dan akhlaknya, yuk Bismillah 

Selama dia mau mengimbangi cerewetku dengan kedua telinganya yang senantiasa mau mendengar, yuk. Menyadari diri ini lebih banyak menggunakan mulut, maka yang kubutuhkan adalah dia yang sedikit lebih banyak menggunakan telinganya. Dia yang mau mengimbangi dan menjaga ritme komunikasi, yuk. Dia yang mau sama-sama membiasakan hidup berdua, yang mau rambut mulai memutih bersama sambil menunggu kepulangan anak-anak setelah mereka merantau nanti, yang mau menghabiskan susu coklat hangat bersama tiap sore sembari melihat cucu-cucu kita berlarian di pekarangan rumah kelak, yuk. Dia yang mau selalu mengerjakan kata kerja “mencintai” , yuk. Saya mendapat satu kutipan bagus dari seorang teman dekat, dia bilang “Dalam hubungan bukan masalah dicintai dan mencintai, tapi tentang mencintai dan mencintai”. Dia yang ingin bertukar cerita tentang aktivitas seharian sebelum tidur, yuk. Kita hidup bersama, yuk. 

Kadang pikiranku sampai di titik bagaimana waktu dapat menjaga cinta diantara dua insan yang saling mencintai? Mampukah? Kemudian kujawab dengan pemikiran bahwa waktu tidak bisa menjamin segalanya, waktu mampu merubah segalanya termasuk janji. Maka barangkali yang perlu dilakukan adalah kebiasan konsisten. Konsisten terhadap apa yang menjadi pilihan. 

Benang kusut kedua adalah tentang tanggapan orang lain terhadap pribadiku dan tanggapanku terhadap mereka.  Menyadari saya hidup di dunia dimana semua hal dikomentari sama orang lain, entah itu baik atau buruk tetap selalu menimbulkan kalimat-kalimat tambahan dari orang disekitarnya. Saya tidak akan bilang hal ini salah, tidak. Toh semua orang punya mata dan mulut untuk melihat dan mengatakan apapun yang ingin mereka katakan, begitupun saya. Mereka diluar sana berkomentar tentang saya, bisa jadi karena rasa sayang pun benci. Bisa jadi. Semua adalah wajar. Menyadari bahwa komentar2 mereka berasal dari diri saya sendiri yang ingin saya perlihatkan baik itu disengaja maupun tidak. Komentar-komentar itu baik atau buruk sebenarnya adalah bentuk dari proses pendewasaan diri mereka dan saya sendiri. Mereka perlu melihat kembali apakah komentar mereka sudah sesuai atau belum? Bermanfaat atau tidak? Dan saya perlu mem-filter butuh atau tidaknya mendengar komentar-komentar itu. Beberapa diantaranya saya yakini sebagai masukan terbaik bagi saya. Dalam Johari Window yang merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk membantu orang lebih memahami hubungan dengan diri dan orang lain yang lebih baik. Salahsatu bagiannya dalah area dimana adalah aspek yang orang lain lihat tetapi kita tidak sadari. Nah barangkali komentar dari mereka adalah bagian dari diri kita yang tidak kita sadari. Nah inilah saat dimana saya butuh orang lain untuk dapat melihat kedalam “saya”. 

Kalau ada yang bilang “kan bukan urusanmu, ngapain ikut campur komentari hidup orang lain bla bla bla”, saya ingin bilang kita hidup di dunia yang telah terbuka. Tidak mau dikomentari ini itu? Jangan main social media, jangan membuka diri ke orang lain, jangan membuka diri ke dunia. Tinggal di dunia antah berantah saja. 

Percaya, kamu butuh mulut orang lain untuk bisa melihat kedalam dirimu sendiri! Selebihnya adalah keputusan diri sendiri untuk mem-filter komentar atau bahasa halusnya masukan-masukan itu. 

Benang kusut ketiga adalah memposisikan diri sendiri. Menurut saya pribadi, orang yang cerdas adalah orang yang pandai memposisikan dengan baik dirinya sendiri. Tahu kapan harus berbicara, kapan harus menyimak, kapan harus marah, kapan harus diam, kapan harus bertindak. Tidak semua pemderitaan orang lain lantas kita harus memposisikan diri kita pada posisi mereka untuk bisa mengerti apa yang tengah terjadi. Cara menyikapi tiap masalah berbeda-beda. Cara saya menyikapi masalah A tentu berbeda dengan cara menyikapi teman saya terhadap masalah A. Karena ada nilai-nilai individu dan sosial yang berbeda antara saya dan teman saya, misalnya. Jadi, tidak semua orang harus memposisikan diri mereka terhadap saya begitupun sebaliknya. Kita tidak berkewajiban untuk itu. 

Itulah beberapa benang kusut di kepala saya, bagaimana dengan benang kusut di kepalamu? 

0 comments:

Post a Comment