Malam itu di
sebuah warung makan coto makassar, aku dan beberapa teman sedang menikmati
hidangan coto makassar di sebuah meja panjang yang terdapat di dalam warung
makan tersebut. Malam yang dingin, tanah masih basah dengan hujan yang turun
sedari sore tadi. Dingin-dingin begini, memang cocoknya makanan-makanan yang
berkuah dan panas yang menjadi pilihan santapan yang tepat.
Saat sedang
menikmati cotoku, dua orang lelaki masuk dan langsung memilih duduk di meja panjang
yang letaknya tepat dihadapan meja yang aku duduki. Sambil membuka bungkus
ketupat, aku melihat kedua pria ini dengan seksama. Pria yang satu lebih tua
daripada pria yang disebelahnya, pria itu memakai baju hangat dan peci kain di
kepalanya, aku tebak itu pasti Ayah dari pria yang duduk disebelahnya. Pria yang lainnya, jauh
lebih muda dan pastilah ini anaknya, tebakku.
Beberapa
menit menunggu, pesanan coto Ayah dan anak ini pun datang. Mereka mulai
mencampur kecap, sambal, dan garam kedalam mangkuk coto mereka masing-masing
dan mulai menyantapnya. Aku masih menikmati hidangan cotoku sambil memerhatikan
mereka. Seketika pikiranku melayang ke beberapa tahun silam. Kedua pria ini
mengingatkanku pada kebiasaanku dulu. Dulu saat masih duduk di bangku sekolah
dasar sampai awal masuk sekolah menengah pertama, aku selalu memiliki
kesempatan untuk jalan dan makan bersama Ayahku. Hanya aku dan Ayahku. Bila
Ayahku tak lembur kerja, bisa dipastikan hampir setiap minggunya, kami berdua
selalu menyempatkan waktu untuk makan bersama di luar.
Kami berdua
selalu menjajaki setiap warung hampir di setiap minggu, kami berdua memang
senang berwisata kuliner, mencoba hampir semua makanan berkuah di setiap rumah makan yang ada di sekitar Kota Ambon. Namun,
setelah tahun kedua duduk di bangku sekolah menengah pertama, rasanya aku dan
Ayahku tak pernah lagi memiliki kesempatan seperti dulu. Bukan karena Ayahku,
tapi lebih karena aku. Aku terlalu sibuk mencari jati diri, terlalu sibuk
memperbanyak teman, terlalu sibuk bermain, sampai-sampai untuk berwisata
kuliner dengan Ayahku seperti dulu menjadi sesuatu hal yang langka.
Dulu setiap
diajak pergi sama Ayah, saya selalu tidak menolak. Tapi sejak memasuki tahun
kedua di sekolah menengah pertama, mulai mengenal jatuh hati kepada lawan jenis
dan sampai sekarang pun aku selalu
menolak untuk pergi bersamanya bila diajak. Entahlah apa yang dipikirkannya
bila setiap kali aku menolak ajakannya. Mungkin dia pikir, gadis bungsunya
telah asyik bermain dengan teman-teman sebayanya, atau gadis bungsunya kini
sudah tidak lagi berselera dengan makanan berkuah atau bahkan ia pikir aku
tidak mau lagi jalan bersamanya karena keriput dan uban mulai menjadi bagian
dalam penampilannya. Entahlah, apa yang dipikirkan Ayahku. Ah, kenapa aku baru
menyadari hal ini, aku terlalu egois. Terkadang keinginan kecil Ayahku ini pun
tak bisa aku penuhi. Aku merasa menjadi gadis bungsunya yang egois dan sombong.
Sepertinya satu per satu kebiasaanku bersama beliau pun hilang. Oh Ayah,
maafkan putri bungsumu ini.
Melihat
kedua pria ini duduk makan bersebelahan sambil menikmati makanannya,
mengingatkan aku bersama Ayahku. Aku merindukan suasana seperti itu lagi
bersama Ayahku. Entah kapan terakhirnya aku pergi makan dengan Ayahku seperti
dulu lagi. Hanya kita berdua.
Aku pun
berpikir, apakah Ayahku juga pernah memikirkan hal ini? Apakah Ayah pernah
melihat kejadian ini dan merindukan aku
duduk disebelahnya sambil tertawa dan makan bersamanya? Ah, tiba-tiba aku
begitu memikirkan Ayahku. Aku terlalu naif bergaul sampai melupakan Ayahku,
terlalu naif mengisi masa remajaku bersama teman-teman, sampai-sampai aku
melupakan pria sejati yang dari keringatnya aku minum. Ingin rasanya segera
terbang dan memegang tangannya dan mengajak beliau pergi makan. Waktu takkan
pernah bisa terulang, namun kesempatan selalu akan ada. Semoga Tuhan masih
memberikanku banyak kesempatan dan waktu untukku dan Ayahku.
“Ayah...
tunggu gadis bungsumu ini pulang. Kita akan kembali menjelajahi setiap rumah
makan lagi. Menikmati makanan-makanan berkuah lagi. Kita berdua. Seperti dulu.”
janjiku dalam hati.
0 comments:
Post a Comment