Bermula dari tugas yang diberikan oleh Dosen matakuliah
Pengantar Fotografi di semester empat yang lalu itulah, saya mendapat satu
pelajaran berharga. Sebelumnya, awal saya merantau di kota berjulukan ‘Anging
Mamiri’ ini, saya merasa kota ini sangat membosankan. Sungguh, itu yang saya
rasakan, itu semua karena saya merasa sarana transportasinya yang sangat
membuat saya kerap kali harus menahan emosi, belum lagi orang-orangnya yang
membuat saya merasa jengkel, dan masih banyak lagi.
Namun, di suatu siang saat selesai hunting di daerah Poutere
tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang tukang becak yang hari itu dari
matanya saya merindukan Ayah saya. Tukang becak ini mengajarkan saya tentang
satu hal dalam hidup. Inilah penggalan ceritanya..
Pak Sampar, lelaki tua berumur 50 tahun
lebih ini saya temui saat perjalanan dari Poutere menuju Klenteng. Siang itu,
ketika saya sedang meneguk air mineral yang saya bawa didalam tas, saya melihat
seorang lelaki tua sedang mengelap roda becaknya dibawah pohon di tepi jalan
raya. Saya pun segera memberikan aba-aba kepada tukang becak untuk segera
berhenti. Saya pun menghampiri Pak Sampar yang tengah membersihkan roda
becaknya.
Saya menyapa
beliau dan beliau membalas sapaan saya. Saya menemani beliau membersihkan roda
becaknya sambil berbincang-bincang dengan beliau. Dari beliau, saya pun
mengetahui kalau Pak Sampar ini memiliki 6 orang anak. Si sulung baru duduk di bangku kelas 3 SMP dan si
bungsu duduk di kelas 1 SD. Pak Sampar tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil
yang berada di sekitar daerah gelangan kapal. Setiap bulannya, beliau harus
membayar uang kontrakan sebesar Rp.300.000.
Pak Sampar dulunya adalah seorang pelaut.
Beliau melaut dengan teman-temannya di satu kapal ikan. Tapi, beliau merasa
banyak sekali pembayaran sana-sini, uang makannya, uang bensinnya, dan masih
banyak lagi yang semua itu menyebabkan beliau memilih untuk berhenti bekerja di kapal ikan itu. Tak
mau menganggur, tukang becak menjadi pekerjaan beliau. “Keluarga
saya harus tetap makan, anak-anak saya harus tetap sekolah”,
ucap
Pak Sampar.
Percakapan
saya dan Pak Sampar masih berlanjut. Dari penuturan beliau, saya pun mengetahui
kalau sedari pagi tadi beliau baru mendapat satu penumpang saja. Tarif yang
beliau minta sebanyak Rp. 8000,- namun ditawar oleh si penumpang menjadi
Rp.5000,- padahal jarak yang ditempuh terbilang jauh. Setiap harinya Pak Sampar hanya bisa
mendapat uang sebanyak Rp. 15.000,- itu pun dikurangi dengan uang makan siang
beliau. Setiap siang beliau makan di warung kecil di pinggir jalan, nasi dan
ikan adalah lauk makan siang beliau, “Nasi dan ikan saja, lima
ribuan saja biar bisa pulang bawa uang yang banyak buat istri, jadi makan lima
ribuan saja”,
tutur beliau. Saya terharu melihat beliau dan mendengar cerita beliau. Sambil
bercerita saya pun memijit pundak beliau, rasanya seperti memijit pundak Papa
dan Kakek sendiri, satu per satu airmata saya mendesak keluar dari tempatnya,
tapi saya mencoba menahannya. Jangan nangis, setidaknya tidak didepan
beliau.
”Hidup betul-betul susah, nak. Tapi saya tidak boleh mengeluh, kalau saya mengeluh, gimana nanti nasib istri dan anak-anak saya? Saya hanya ingin anak-anak saya bisa terus sekolah, nasib mereka lebih baik dari saya”, tutur Pak Sampar lembut.
Saya masih setia mendengar cerita beliau.
Setiap kata yang keluar dari bibir beliau adalah pelajaran berharga bagi saya.
Keinginan beliau sederhana saja. Hanya ingin anak-anaknya bisa terus sekolah
dan nasib mereka lebih baik dibandingkan beliau. Dari kedua mata beliau
terpanjar sebongkah keinginan yang besar, kulit keriputnya bukti bahwa beliau
telah memasuki usia senja namun semangat beliau masih membara sebasah embun pagi.
Pundak
dan tangan yang saya pijit pun, saya yakin dululah sangat tegap dan kekar. Kini
ringkih namun semangat beliau masih membara. Tak ingin mengeluh, karena beliau
harus mewujudkan keinginan sederhananya itu. Semoga Yang Maha Pencipta memberikan kehidupan yang layak untuk
anak-anaknya.
Dari Pak Sampar saya
belajar bahwa hidup tak selalu harus terlihat baik-baik saja. Dari beliau saya
menyadari bahwa seorang Ayah mempunyai cara tersendiri untuk menyayangi dan
membahagiakan anak-anaknya, saya menyadari bahwa dari keringat seorang Ayah
lah, saya minum. Kegigihan dan semangat yang begitu tinggi, tak mengenal lelah,
keinginan sederhana namun butuh pengorbanan dan jerih payah yang sangat luar
biasa.
Dari Pak sampar inilah
saya belajar tentang satu hal yang belum saya dapatkan sebelumnya, dan Makassar
menjadi kota dengan pelajaran berharga bagi saya sendiri, satu per satu
pandangan saya tentang Makassar berubah. Kota ini menjadi tempat terindah bagi saya, tempat
pembelajaran tentang banyak hal, tentang hidup, tentang mimpi.
selamat nonaa
smoga menjadi seorang JURNALIS yang baik,
yang selalu berpegangan kepada kebenaran.*AMIN*