Aku dan Ayah: Janjiku Untuk si Pria Sejati, Ayah

Sunday 22 April 2012

Malam itu di sebuah warung makan coto makassar, aku dan beberapa teman sedang menikmati hidangan coto makassar di sebuah meja panjang yang terdapat di dalam warung makan tersebut. Malam yang dingin, tanah masih basah dengan hujan yang turun sedari sore tadi. Dingin-dingin begini, memang cocoknya makanan-makanan yang berkuah dan panas yang menjadi pilihan santapan yang tepat.

Saat sedang menikmati cotoku, dua orang lelaki masuk dan langsung memilih duduk di meja panjang yang letaknya tepat dihadapan meja yang aku duduki. Sambil membuka bungkus ketupat, aku melihat kedua pria ini dengan seksama. Pria yang satu lebih tua daripada pria yang disebelahnya, pria itu memakai baju hangat dan peci kain di kepalanya, aku tebak itu pasti Ayah dari pria yang  duduk disebelahnya. Pria yang lainnya, jauh lebih muda dan pastilah ini anaknya, tebakku.

Beberapa menit menunggu, pesanan coto Ayah dan anak ini pun datang. Mereka mulai mencampur kecap, sambal, dan garam kedalam mangkuk coto mereka masing-masing dan mulai menyantapnya. Aku masih menikmati hidangan cotoku sambil memerhatikan mereka. Seketika pikiranku melayang ke beberapa tahun silam. Kedua pria ini mengingatkanku pada kebiasaanku dulu. Dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar sampai awal masuk sekolah menengah pertama, aku selalu memiliki kesempatan untuk jalan dan makan bersama Ayahku. Hanya aku dan Ayahku. Bila Ayahku tak lembur kerja, bisa dipastikan hampir setiap minggunya, kami berdua selalu menyempatkan waktu untuk makan bersama di luar.

Kami berdua selalu menjajaki setiap warung hampir di setiap minggu, kami berdua memang senang berwisata kuliner, mencoba hampir semua makanan berkuah di setiap rumah makan yang ada di sekitar Kota Ambon. Namun, setelah tahun kedua duduk di bangku sekolah menengah pertama, rasanya aku dan Ayahku tak pernah lagi memiliki kesempatan seperti dulu. Bukan karena Ayahku, tapi lebih karena aku. Aku terlalu sibuk mencari jati diri, terlalu sibuk memperbanyak teman, terlalu sibuk bermain, sampai-sampai untuk berwisata kuliner dengan Ayahku seperti dulu menjadi sesuatu hal yang langka.

Dulu setiap diajak pergi sama Ayah, saya selalu tidak menolak. Tapi sejak memasuki tahun kedua di sekolah menengah pertama, mulai mengenal jatuh hati kepada lawan jenis dan sampai sekarang pun  aku selalu menolak untuk pergi bersamanya bila diajak. Entahlah apa yang dipikirkannya bila setiap kali aku menolak ajakannya. Mungkin dia pikir, gadis bungsunya telah asyik bermain dengan teman-teman sebayanya, atau gadis bungsunya kini sudah tidak lagi berselera dengan makanan berkuah atau bahkan ia pikir aku tidak mau lagi jalan bersamanya karena keriput dan uban mulai menjadi bagian dalam penampilannya. Entahlah, apa yang dipikirkan Ayahku. Ah, kenapa aku baru menyadari hal ini, aku terlalu egois. Terkadang keinginan kecil Ayahku ini pun tak bisa aku penuhi. Aku merasa menjadi gadis bungsunya yang egois dan sombong. Sepertinya satu per satu kebiasaanku bersama beliau pun hilang. Oh Ayah, maafkan putri bungsumu ini.

Melihat kedua pria ini duduk makan bersebelahan sambil menikmati makanannya, mengingatkan aku bersama Ayahku. Aku merindukan suasana seperti itu lagi bersama Ayahku. Entah kapan terakhirnya aku pergi makan dengan Ayahku seperti dulu lagi. Hanya kita berdua.

Aku pun berpikir, apakah Ayahku juga pernah memikirkan hal ini? Apakah Ayah pernah melihat kejadian ini dan merindukan  aku duduk disebelahnya sambil tertawa dan makan bersamanya? Ah, tiba-tiba aku begitu memikirkan Ayahku. Aku terlalu naif bergaul sampai melupakan Ayahku, terlalu naif mengisi masa remajaku bersama teman-teman, sampai-sampai aku melupakan pria sejati yang dari keringatnya aku minum. Ingin rasanya segera terbang dan memegang tangannya dan mengajak beliau pergi makan. Waktu takkan pernah bisa terulang, namun kesempatan selalu akan ada. Semoga Tuhan masih memberikanku banyak kesempatan dan waktu untukku dan Ayahku.

“Ayah... tunggu gadis bungsumu ini pulang. Kita akan kembali menjelajahi setiap rumah makan lagi. Menikmati makanan-makanan berkuah lagi. Kita berdua. Seperti dulu.” janjiku dalam hati.

Bertempur Melawan Jarak

Sunday 15 April 2012

“Apakah kau siap bertempur melawan jarak?”, tanyaku senja itu.

Kau tersenyum mendengar pertanyaanku sambil berkata, “jarak adalah kerikil-kerikil kecil yang akan menguatkan langkah kita, menguatkan genggaman kita, melebarkan senyuman kita nanti. Di kemudian hari. Melalui kata jarak, aku belajar bagaimana mengeja kata menunggu dan merindu.”

Jarak dan Kita



Dulu, pada malam itu kita berpelukan erat. Menyatukan jari-jari kita, bergenggaman erat, bahkan isak tangis menyelimuti malam kita. Kita saling berjanji tentang hubungan kita. Kamu bilang, jarak tak akan memisahkan kita. Dia bilang, jarak bukanlah halangan untuk kita. Dia yang disebelahmu bilang, hubungan kita kekal, tak terbatas ruang dan waktu, bahkan jarak sekalipun.
Aku mendengar kalimat-kalimat itu meluncur penuh usaha dari mulut kalian. Aku mendengar kalimat-kalimat itu kalian ucap sambil sesegukan oleh tangis dan aku memaksakan kedua telingaku untuk mendengar kata-kata kalian sambil sesekali kuusap airmata yang mengucur mulus dari kedua mataku.
Tapi, mungkin itu hanya kesedihan sesaat. Kesedihan saat kita akan berpisah sejenak. Nyatanya sekarang, kamu menjauh. Dia mulai menjauh perlahan-lahan. Aku tetap berdiri disini, tak tahu harus berbuat apa. Nyatanya, jarak lebih menguasai kita. Jarak lebih bertahta dalam hubungan kita. Aku diam melihat kalian. Dan aku sadar satu hal bahwa bukanlah jarak yang memisahkan kita, tapi kitalah yang menjadikan jarak sebagai alasan mengapa sekarang kita menjauh, mengapa sekarang kita saling tak peduli, saling tak jujur dan saling diam. 

‘Jarak memberikan kita pelajaran tentang waktu. Memberi kita ruang. Membantu kita melihat dengan lebih jelas. Perlahan-lahan, jarak memberi tahu kepada kita bahwa sesuatu yang indah akan selalu menjadi indah. Baik dilihat dari jauh maupun dari dekat sekalipun.’


Senja Tak Berpihak

Tuesday 3 April 2012

Oleh: Si Elegan Senja
Kita selalu bisa bersama di setiap waktu. Tapi, kita tak pernah bergenggaman di senja. Sekalipun tak pernah. Sadarkah kau, kita tak pernah bisa sama-sama menemui senja. Kau tahu apa yang jadi inginku? Melewati senja denganmu. Memandang kilauan warna kuning keemasan itu bersamamu. Itu cukup untukku. Tapi rasanya, seakan senja selalu berlalu pergi, tak pernah berpihak untuk kita berdua.