[REVIEW] TITIK NOL - AGUSTINUS WIBOWO. “Makna Perjalanan, Sebuah Pengungkapan Diri”

Friday, 4 August 2017

“Safarnama itu bukan melulu tentang kisah-kisah eksotis. Perjalanan itu bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik Nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada hanyalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”

Awal mengenal seorang Agustinus Wiowo adalah bermula dari melihat cover buku Titik Nol karyanya di toko buku Gramedia. Tertarik dengan warna cover buku dan judulnya inilah, yang membuat saya penasaran “Apa itu Titik Nol? Bercerita tentang apakah buku Agustinus ini?”
Tanpa membuang waktu, singkat cerita saya dipinjami buku ini oleh seorang adik. Sebelumnya, Garis Batas sudah saya lahap duluan, membuat saya tambah yakin bahwasanya karya Agustinus yg lain mutlak saya lahap juga.

Halaman-halaman awal Agustinus menyihir saya dengan kata-katanya “Jauh adalah kata yang mengawali perjalanan. Jauh menawarkan misteri keterasingan, jauh menebarkan aroma bahaya, jauh memproduksi desir petualangan menggoda. Jauh adalah sebuah pertanyaan sekaligus jawaban, jauh adalah sebuah titik tujuan yang penuh teka-teki.

Agustinus Wibowo, mengangkat genre travel writing, membuat saya menjadi suka dengan genre penulisan yang satu ini. Bahasa cerita Agustinus tidak menggurui, tidak sok tahu dengan segala setapak yang telah dia lalui dari satu negara ke negara lain, ke satu batas ke batas lain, dari satu titik ke titik yang lain. Dia jelas-jelas ingin membagi cerita dengan saya, dengan pembacanya.

Tidak menggurui, ia hanya ingin kita melihat sesuatu hal dengan cara yang lain yang boleh kita pikirkan lagi apakah yang dia utarakan adalah benar atau tidak. “Dunia dimatamu adalah caramu memandang diri. Jika dunia penuh kebencian dan musuh ada dimana-mana, sesungguhnya itu adalah produk dari hatimu yang dibalut kebencian. Jika kau kira dunia penuh orang egois, itu tak lain adalah bayangan dari egoisme egomu sendiri. Dunia yang muram berasal dari hati yang muram. Sedangkan kalau dunia dimatamu selalu tersenyum ramah, berterimakasihlah pada hatimu yang diliputi cinta.”

Novel ini dimulai bukan dari negara pertama tempat dia melangkah kaki, memulai perjalanan, melainkan dimulai dari tempat dimana dia pulang, dengan alasan seseorang yang dia cintai, Mama. Penyakit yang diderita oleh Mamanya membuat Agustinus memilih memutar haluan, mematahkan mimpinya, bertoleransi antara mimpi-mimpinya dan Mamanya yang terkulai lemah di ranjang rumah sakit. Tentu saja pergulatan batin yang tidak main-main dirasakannya, mimpi-mimpinya akan ambruk dalam semalam seandainya dia harus memutar haluan untuk pulang, tapi Agustinus tahu jelas rumah adalah dimana senyum Mamanya berada.

Orang-orang baru, kultur baru, bahasa, perang antar saudara, kebiasaan, sakit hepatitis, keluhan-keluhan perihal sanitasi, karakter-karakter baru yang menjadi pengalaman berharga dan semua yang dia lalui selama perjalanan adalah pengalaman yang tak ternilai bagi Agustinus. Bagaikan jodoh, Lam Li seorang teman dari Malaysia yang ia temui dalam perjalanan pun turut memberikan warna tersendiri bagi perjalanan seorang Agustinus. Lam Li hadir sebagai guru untuk seorang Agustinus. Agustinus jelas-jelas mengajak saya melihat arti sebuah perjalanan dari sudut pandang yang berbeda. Agustinus menyediakan bab-bab penuh kejutan, beberapa diantaranya adalah tentang bagaimana adat tentang memperlakukan seorang perempuan, tentang agama, tentang perang.

Selama membaca buku ini, saya berharap Mama Agustinus sehat-sehat saja namun saya harus menitikkan airmata kala Mamanya akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Saya pikir, Agustinus cukup berani dalam mengisahkan perjalanan ini kepada Mamanya, kepada saya, kepada pembacanya. Ini terlalu pribadi untuk diceritakan namun terlalu sayang untuk disimpan sebagai kenangan bagi diri sendiri. Barangkali Agustinus ingin kita kembali melihat kedalam diri kita anak seperti apa kita ini.

Setiap akhir fragmen, pembaca akan mendapati tulisan yang bertulis miring, Agustinus kembali memutar imajinasi pembacanya ke kamar rumah sakit, ke kampung halamannya, ke sosok Ayahnya dan lebih-lebih ke sosok Mamanya. Selanjutkan dimulai lagi dengan cerita perjalanannya, seakan-akan Agustinus sedang bercerita kepada Mamanya kala Mamanya terbaring di ranjang rumah sakit.

Agustinus memupus mimpi, kembali ke titik nol, dirinya harus pulang. Dia yakin setiap kita haruslah kembali setelah melakukan perjalanan jauh. “Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.”

Buku ini cukup berat dan hangat. Pastilah susah membuka diri untuk orang banyak. Mengizinkan orang lain untuk mengetahui kisahnya, kisah kehilangan salahsatunya. Menulis kisah ini berarti memutar kembali cerita kehilangan seorang sosok yang dicintai, Mama. Diakhir buku, Agustinus menyertai surat untuk Mamanya, pilu saya membacanya. Persoalan kehilangan memang tidak pernah main-main. Tapi untuk segalanya, terimakasih Agustinus Wibowo yang telah mengajak saya keliling Tibet, Nepal, India, Pakistan, Kashmir dan Afghanistan. Meminjamkan panca inderanya untuk saya merasakan duduk di kereta 18 jam lebih, sakit Hepatitis, makan makanan yang itu-itu saja, berbaur dengan teman-teman baru, warga lokal, kerumitan berurusan visa dan tetek bengeknya perjalanan. Saya merasakannya melalui Agustinus yang baik hati. Terimakasih telah mengenalkan genre travel writing ini kepada saya. Agustinus membuat saya jatuh cinta dengan 552 halaman yang saya lahap habis. Agustinus memberikan pengalaman membaca yang berbeda kepada saya. Begitu hangat, personal, menyentuh, menjengkelkan, dan menyenangkan.

-yuniar sakinah-

*usahamereviewnovelfavorit*








0 comments:

Post a Comment