Bertemu Ima

Thursday 13 September 2018
Hari rabu kemarin saya punya janji bertemu dengan seorang sahabat di sebuah cafe di kota Makassar. Kami berjanji ketemu pukul 4 sore. Beberapa jam sebelum waktu yang ditentukan, sahabat saya mengabari dia akan terlambat datang karena satu pekerjaan mendadak. Hal ini membuat saya cukup memiliki waktu untuk bersantai lebih lama. Singkat kata, setelah berbenah saya siap untuk keluar dari kos. Saya ingin lebih lama di kos menunggu kabar dari teman saya, tapi saat itu saya malah memutuskan untuk lebih cepat keluar karena perkiraan macet yg akan saya temui. Saat sedang berjalan keluar blok saya ditegur oleh seorang teman, setelah itu saya melanjutkan berjalan kaki menuju depan jalan masuk kompleks dan akan menunggu angkot di depan kompleks. Tiba-tiba ada yang menegur saya dari belakang, ternyata dia adalah seorang perempuan yang beberapa menit lalu membonceng teman yg menegur saya tadi. Saya mengenal perempuan ini sbg teman baik dari teman saya, kami berdua saling follow di instagram. Ima, namanya.

Ima, menawarkan untuk membonceng saya sampai depan kompleks. Ternyata, tujuan Ima searah dengan cafe tempat saya janjian, alhasil sore itu kami menempuh perjalanan wesabbe-pengayoman bersama. Ini pertama kalinya saya bercerita dgn Ima, beberapa kali hanya sekedar saling sapa. Ternyata Ima sangat menyenangkan. Sore itu jalanan padat Makassar terasa menyenangkan.
Kami berdua membahas banyak hal, mulai dari blog, komunitas, makanan, penulis sampai hal yang membuat saya senang dan termotivasi. Ima berulang kali memuji saya, saya rasa Ima cukup berlebihan, tapi pujian Ima menjadi motivasi bagi saya. “Kenapa nda pernah menulis lagi Unhy? Saya suka baca postingan-postingan unhy di story IG, terakhir kali kayaknya unhy share quotes pas lebaran kan? Saya suka. Unhy punya potensi,” kata Ima. Saya membalas dengan ketawa dan bilang bahwa saya sedang krisis kepercayaan diri, saya sedang merasa tulisan saya tidak pantas dibaca orang lain. Maka otu saya sudah jarang menulis dan membagikan tulisan saya di blog atau di instagram. Ima membalas dengan mengatakan bahwa tulisan-tulisan saya bagus. Saya bilang ke Ima, saya sekarang sedang krisis. Saking krisisnya saya hanya berani membuat satu kalimat yang akan saya jadikan caption foto di instagram itu pun saya sekarang hanya sekedar menyimpannya di note hape karena krisis yang sedang melanda saya ini membuat saya tidak berani membagikan kalimat pendek yang terlintas di pikiran saya. Ima bilang dia senang membaca caption-caption foto saya di instagram. Ima memberikan saya semangat dan dorongan untuk mengumpulkan semua tulisan berisi puisi saya dan menjadikannya sebuah buku. Ima bilang dia akan membelinya, dia akan menyukainya.


Ima terus meyakinkan saya bahwa saya memiliki potensi. Ima bahkan menyarankan membuat satu akun di instagram khusus untuk memposting sebait dari puisi saya dan meyakinkan saya bahwa saya pantas menerbitkan sebuah buku. Saya membalas dengan bercanda bahwa paling yang akan membeli buku saya adalah Ima dan saya sendiri. Ima tertawa, dan kembali meyakinkan bahwa akan ada banyak orang yang menyukai buku saya.

Ima pun cerita bahwa dia ingin sekali bisa menulis, masuk komunitas blogger tapi sayang Ima belum punya blog. Saya bilang ke Ima, blog hanya wadah. Tanpa blog Ima bisa menulis kapan saja dan dimana saja. Hal terpenting dari menulis adalah memulainya. Kalimat ini saya sampaikan ke diri saya sendiri juga.

Sungguh menyenangkan menempuh perjalanan sore itu bersama Ima. Ima memberikan saya suntikan semangat bukan main. Ima meyakinkan saya untuk memulai, meyakinkan saya bahwa saya memiliki potensi dan dia akan menjadi orang pertama yang membeli dan menyukai apa yang saya lakukan kelak. Ima, seorang teman yang saya kenal begitu saja, tak pernah bertegur sapa sebelumnya, sedikit sekali informasi tentang Ima yang saya tahu, Ima adalah teman dari teman saya dan admin akun info jajanan enak di Makassar. Hanya itu. Tapi sore itu Ima menjadi seorang teman yang memberi cerita baik, perenungan dan menyemangati saya dengan luar biasa. Saya berpikir kemungkinan macam apa yang akan saya temui bila saya menunda keluar dari kos beberapa menit saja? Saya pasti takkan berpapasan dengan Ima. Jika hari itu saya menunda beberapa menit keluar dari kos, maka sore itu menuju cafe, saya habiskan dengan duduk di angkot, mengeluarkan hp membaca e-book dari novel yang tengah saya habiskan atau hanya duduk begitu saja sembari menunggu sampai di tempat tujuan.

Hari itu saya bersyukur telah membuat satu keputusan yang tepat untuk keluar dari kos lebih cepat beberapa menit, saya bersyukur sore itu Ima membonceng temannya pulang ke Wesabbe, Ima memiliki janji dengan temannya sore itu juga, saya memutuskan di menit-menit terakhir untuk bertemu di cafe itu (sebelumnya saya merekomendasikan tempat lain kepada teman saya yang pada akhirnya saya bilang kita di Secangkir Kopi saja dan teman saya setuju), yang ternyata searah dengan tempat janjian Ima. Semua kemungkinan itu menghasilkan satu kenangan baik yang saya simpan di kepala tentang Ima. Kemungkinan-kemungkinan itu membawa saya bertemu dengan Ima.

Bertemu Ima hari itu adalah hasil dari keinginan menghindari macet dan hasil dari banyak kemungkinan yang ada. Saya percaya, tidak ada yang sia-sia dengan sebuah pertemuan, tiap-tiapnya meninggalkan cerita baik. Sungguh sore menyenangkan bisa bertukar cerita dengan Ima, terimakasih untuk dorongan semangatnya, semoga Ima senantiasa sehat, cukup berani "memulai" juga dan senantiasa dilimpahi cinta dari orang-orang sekitar. Doakan kelak kumpulan kertas-kertas dengan namaku di bagian depannya itu sampai di tangan Ima.
Pertemuan memang hasil dari manusia memperkecil kemungkinan yang ada. Bagiku, bertemu Ima, misalnya. :)

0 comments:

Post a Comment