Diantara Jeda, Rindu Membuncah

Saturday, 31 August 2019



Sepanjang hidup, cintamu adalah penyembuh bahkan sebelum datang sakitku, senyummu adalah ketenangan bahkan sebelum datang risauku, pelukmu adalah pelindung bahkan sebelum datang bahaya, genggamanmu adalah penopang sebelum jatuhku.
......

Papa..
Keningmu, matamu, dan hidungmu yang kukecup dingin itu mematahkan hatiku berulang-ulang kali pa. Menggenggam tanganmu sembari melantunkan ayat-ayat suci, menyayat hatiku tiada henti. Melihatmu terbujur kaku pa, aku kalang kabut didera berbagai perasaan kacau balau, seketika semua kenangan satu persatu berlarian di kepalaku, betapa manis sayangmu, betapa tulus cintamu, betapa pedulinya dirimu, betapa khawatirnya dirimu bila anakmu ini jatuh sakit dan betapa besar penjagaanmu pa. Sejak hari pertama aku di dunia ini dan hari terakhir kau didunia ini, tak ada satupun luka yg kau torehkan di hati ini pa. Bahkan putri bungsumu ini tidak memiliki ingatan apapun perihal seperti apa ekspresi marahmu pa.

Papa, putrimu ini tidak siap pa. Putri bungsumu ini tidak memiliki persiapan apapun menghadapi keruntuhan dunianya siang itu, kepergianmu memadamkan semua cahaya dalam hidupku.

Papa..
Namun putrimu ini tahu dia harus ikhlas sejak hari itu. Tapi aku perlu waktu untuk menyesuaikan diri akan kenyataan bahwa tanganmu tak bisa lagi kugenggam, matamu tak bisa lagi kutatap lekat-lekat, keningmu, pipimu, hidungmu yang mancung tak bisa lagi kucium, rambut hitam nan halusmu tak bisa lagi kuacak, kakimu tak bisa lagi kupijat, dan kedua tanganmu tak bisa lagi kucium untuk meminta ridhomu pa.

Papa, siapa lagi yang akan menemaniku makan coto makassar favorit kita? Siapa lagi yang akan membaca shalawat nabi ketika aku sakit? Siapa lagi yang akan selalu menelponku untuk bangun subuh? Siapa lagi yang akan memastikan jendela kamarku terkunci rapat sebelum maghrib? Siapa lagi yang akan mengomeliku jika handuk yang kupakai setelah mandi hanya kuletakkan begitu saja diatas tempat tidur? Siapa lagi yang akan mengomeliku untuk semua kenakalanku? Siapa lagi yang akan meminta aku menceritakan cerita yang sama berulang kali dan selalu tersenyum mendengar semuanya itu? Siapa lagi yg akan selalu membacakan doa sambil memegang pundakku tiap kali aku akan keluar rumah? Siapa lagi yang akan selalu bilang "Papa bangga deng ade"? Siapa lagi pa?

Papa, anakmu ini tahu Allah Maha Pembuat Sebaik-baiknya Ketetapan, tapi Pa ketetapan ini sungguh sulit. Kehilanganmu ini sungguh membuangku di jurang paling dalam kehidupan. Sepanjang hidup anakmu ini akan disiksa oleh rasa rindu dan penyesalan yang menggerogotinya.

Memandikanmu tiap pagi, menyuapimu tiap makan, menemanimu sampai kau tertidur pulas, menggosokkan minyak kayu putih agar badanmu tetap hangat, bercanda denganmu,
bercerita denganmu walau respon yg kau beri hanya senyum, menemanimu berjuang melawan sakitmu, semoga semua itu papa adalah baktiku padamu bahkan kuyakin itu tak seberapa untuk bisa membalas kasihmu padaku selama ini. Sigapmu ketika aku harus ke toilet dengan menggunakan tongkat pasca kecelakaan, genggamanmu ketika aku menjerit kesakitan ketika kaki kiriku tak bisa digerakkan, sigapmu di kala sinusitis dan maagku kambuh, sigapmu membantuku mengatasi trauma berkepanjangan saat duduk di bangku SMA dulu, pesan singkat yang kau kirim selalu menyemangatiku "ade, juara 1 kah? Papa bangga nak", yang sigap ke sekolah ketika tahu anaknya pingsan karena tak kuat menahan dingin, yang kuat menahan kantuk menemani anaknya belajar atau sekedar menemaniku begadang menonton film kesukaanku.

Kini di kepalaku penuh dengan pertanyaan apakah aku sudah cukup banyak meluangkan waktu duduk bercerita denganmu? Seberapa sering aku menyuapimu? Seberapa sering aku menemanimu tidur, memerhatikan lekat2 setiap sudut wajahmu? Kemudian kenangan apa yang papa ingat tentang putrimu ini di saat-saat terakhirmu? Seberapa sering aku membuatmu marah dan kecewa tapi papa selalu tidak mengasariku dengan kata-kata dan perbuatan, bahkan aku tetap bisa menemukan senyummu disana.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuatku kacau pa.

Papa, putrimu ini rindu pa. Kelak siapa yang akan mengantarkanku menuju babak baru kehidupan saat hari dimana seorang pria baik mengguncangkan arsy-Nya dengan menyebut namaku pa? Siapa yang akan memberiku restu untuk hidup baru yang akan ku tapaki. Siapa yang akan memberikan tanggungjawab ke pundak pria pilihanku pa? Papa, putrimu ini rindu pa.

Aku mencintaimu papaku sayang, papaku yang penyabar, lelaki yang memiliki cinta paling tulus, lelaki yang mengusahakan segala yg terbaik untuk putri bungsunya sejak hari pertama putrinya di dunia sampai hari terakhir ia di dunia.

Bersama tulisan ini, aku sepenuhnya ikhlas untuk ketetapan-Nya, biarkan aku digerogoti rasa rindu yang membuncah tiap hari untuk lelaki terbaikku. Sementara jeda, biarkan doaku yang menenangkan rindu ini. Semoga kelak kita bertemu di Jannah-Nya, papa. Doaku selalu menggapaimu disana Pa.
Ade sayang papa, ade rindu papa, ade sayang papa, paling sayang papa.

Yang merindumu,
Putri bungsumu.


Ambon, 30 Agustus 2019

BERJUMPA

Sunday, 25 August 2019
Rintik hujan sore hari
sepasang mata saling tatap
buru-buru lalu pergi
meninggalkan sebuah tanya

Sebuah pertanyaan mengambang
tak tahu arah, lalu lalang di pikiran
tak kuasa menahan
ia butuh jawaban
sayangnya keberaniannya nihil

Kemudian ditemani suara rintik hujan awal agustus
aroma asin air laut
lantunan musik merdu
Dua pasang mata itu saling jumpa
memberi jawab atas tanya

Dua pasang mata itu saling tatap
Lekat-lekat tak mau lepas
Malu-malu tapi tak mau berpaling
kemudian bertukar cerita
tawa menyeruak diantara cerita mereka

Aku melihat kalian
Jelaslah disana ada bahagia
Telah saling berjumpa dua orang yg aku atur pertemuannya
Ini waktu yang tepat, ujarku.

Saling berjumpalah kalian
dimiantara bahagia hari ini kelak kan ada sedih
tapi semoga kelak jemari kalian tetap bergenggaman
Cerita-cerita tetap saling kalian tukar
dengan begitu aku; semesta kan senang
Usahaku mempertemukan kalian bukanlah sebuah usaha yang sia-sia.

Ambon, 23/8/2019

Anakmu Rindu, Pa

Tuesday, 30 July 2019
Seperih inikah luka yang ditinggalkan sebab kehilangan?
Semerana inikah sebab kehilangan?
Segila inikah kehilangan berulah?
Sesakit inikah merindukan seseorang?

Papa..
anakmu rindu pa
hanya 27 tahun waktu yang Tuhan beri untuk ia bisa bersamamu pa.
Anakmu ini egois pa
inginnya bertahun-tahun, 37, 47, 57 tahun pa
anakmu ini serakah

Papa..
anakmu rindu pa
Al-fatihah sudah ia lafalkan berkali-kali tiap kali merindukanmu
tapi tetap saja rindu pa

Papaku sayang
duhai papaku sayang
anakmu sungguh rindu pa
Ia masih ingin melihat senyummu
mengecup dahimu, pipimu
mengelus hidung mancungmu
melihatmu makan, tidur, tertawa

Papaku tercinta
anakmu rindu pa
harus bagaimana ia menghadapi kehilangan terberat ini?
harus bagaimana ia menghadapi hari2nya tanpamu pa?
kepada siapa dia harus bersandar ketika sandarannya telah tiada pa?

Papaku tercinta
anakmu rindu pa
ia menangis berkali2 utk luka perih di hatinya
ia tertatih membangun benteng pertahanannya pa
ia merasa belum mencintaimu dgn cara terbaiknya pa

Papaku yg kurindukan
anakmu rindu pa
anakmu rindu pa
anakmu rindu pa
Maka hanya Al-fatihah jembatan antara kita berdua kini
tapi pa, anakmu ini rindu pa.
ia tak sanggup menahan sakitnya merindu pa
anakmu rindu pa.

Luhu, 30 Juli 2019
11:12 pm

Surat Terakhir untuk Kekasih

Tuesday, 30 April 2019
Kekasihku sayang,
Ini surat untukmu
Ditulis saat hujan turun
Aku ingin menahanmu disini
Tapi seperti hujan, ia menyapu semua di jalan kita
Termasuk cinta.

Kekasihku yang keras kepala,
Kau harus tahu
Kau tak bisa begini saja
Menuntut menerima cinta tapi tak memberi

Kau tak bisa menerima begitu saja cinta
Tanpa kau memberi sebanyak yang ingin kau terima
Konyol, sayang
Sebuah kekeliruan yang berujung bodoh
Adalah kesia-siaan belaka
Kamu harus paham itu

Pun hal yang kau diamkan berlarut-larut
tak bisa tiba-tiba bersuara tanpa ada pemicunya
Makanan yang dingin tak bisa jadi panas
bila kau tak panaskan terlebih dahulu
Begitu pun dengan "kita"

Kekasihku yang egois,
Jangan pikir seberapa banyak yang telah kau beri
tanpa ingat seberapa banyak pula yang telah kau terima
Cinta tak ada ukurannya
Tak ada metode pengukuran yg paten
perihal siapa yang lebih banyak memberi cinta
Siapa yang lebih baik dalam mencinta
Tak ada, sayang.

Kau harus menjadi mengerti
Bahwasanya hal-hal buruk yg dibiarkan begitu saja
kan menguap menjadi awan hitam
Kelak turun menghujani langit kita
Deras..deras sekali
sampai-sampai kita tak mampu berteduh

Kekasihku,
Aku basah kuyup, menggigil kedinginan
Kau membawa hujan tiada henti di langitku
Mari bergegas
Hal-hal menjadi buruk
Cinta tak mampu menahan
Ia dikalahkan ego
Berpisahlah kita
Tak ada yang menahanmu disini
Lepas, bila tak mampu menggenggam
Pergi, bila tak mampu tinggal

Aku takkan menahan yang ingin pergi
Masing-masing kita ingin melanjutkan perjalanannya sendiri
Kita hanya perlu melepaskan.

Hujan, 30 April 2019




Bertemu Ima

Thursday, 13 September 2018
Hari rabu kemarin saya punya janji bertemu dengan seorang sahabat di sebuah cafe di kota Makassar. Kami berjanji ketemu pukul 4 sore. Beberapa jam sebelum waktu yang ditentukan, sahabat saya mengabari dia akan terlambat datang karena satu pekerjaan mendadak. Hal ini membuat saya cukup memiliki waktu untuk bersantai lebih lama. Singkat kata, setelah berbenah saya siap untuk keluar dari kos. Saya ingin lebih lama di kos menunggu kabar dari teman saya, tapi saat itu saya malah memutuskan untuk lebih cepat keluar karena perkiraan macet yg akan saya temui. Saat sedang berjalan keluar blok saya ditegur oleh seorang teman, setelah itu saya melanjutkan berjalan kaki menuju depan jalan masuk kompleks dan akan menunggu angkot di depan kompleks. Tiba-tiba ada yang menegur saya dari belakang, ternyata dia adalah seorang perempuan yang beberapa menit lalu membonceng teman yg menegur saya tadi. Saya mengenal perempuan ini sbg teman baik dari teman saya, kami berdua saling follow di instagram. Ima, namanya.

Ima, menawarkan untuk membonceng saya sampai depan kompleks. Ternyata, tujuan Ima searah dengan cafe tempat saya janjian, alhasil sore itu kami menempuh perjalanan wesabbe-pengayoman bersama. Ini pertama kalinya saya bercerita dgn Ima, beberapa kali hanya sekedar saling sapa. Ternyata Ima sangat menyenangkan. Sore itu jalanan padat Makassar terasa menyenangkan.
Kami berdua membahas banyak hal, mulai dari blog, komunitas, makanan, penulis sampai hal yang membuat saya senang dan termotivasi. Ima berulang kali memuji saya, saya rasa Ima cukup berlebihan, tapi pujian Ima menjadi motivasi bagi saya. “Kenapa nda pernah menulis lagi Unhy? Saya suka baca postingan-postingan unhy di story IG, terakhir kali kayaknya unhy share quotes pas lebaran kan? Saya suka. Unhy punya potensi,” kata Ima. Saya membalas dengan ketawa dan bilang bahwa saya sedang krisis kepercayaan diri, saya sedang merasa tulisan saya tidak pantas dibaca orang lain. Maka otu saya sudah jarang menulis dan membagikan tulisan saya di blog atau di instagram. Ima membalas dengan mengatakan bahwa tulisan-tulisan saya bagus. Saya bilang ke Ima, saya sekarang sedang krisis. Saking krisisnya saya hanya berani membuat satu kalimat yang akan saya jadikan caption foto di instagram itu pun saya sekarang hanya sekedar menyimpannya di note hape karena krisis yang sedang melanda saya ini membuat saya tidak berani membagikan kalimat pendek yang terlintas di pikiran saya. Ima bilang dia senang membaca caption-caption foto saya di instagram. Ima memberikan saya semangat dan dorongan untuk mengumpulkan semua tulisan berisi puisi saya dan menjadikannya sebuah buku. Ima bilang dia akan membelinya, dia akan menyukainya.


Ima terus meyakinkan saya bahwa saya memiliki potensi. Ima bahkan menyarankan membuat satu akun di instagram khusus untuk memposting sebait dari puisi saya dan meyakinkan saya bahwa saya pantas menerbitkan sebuah buku. Saya membalas dengan bercanda bahwa paling yang akan membeli buku saya adalah Ima dan saya sendiri. Ima tertawa, dan kembali meyakinkan bahwa akan ada banyak orang yang menyukai buku saya.

Ima pun cerita bahwa dia ingin sekali bisa menulis, masuk komunitas blogger tapi sayang Ima belum punya blog. Saya bilang ke Ima, blog hanya wadah. Tanpa blog Ima bisa menulis kapan saja dan dimana saja. Hal terpenting dari menulis adalah memulainya. Kalimat ini saya sampaikan ke diri saya sendiri juga.

Sungguh menyenangkan menempuh perjalanan sore itu bersama Ima. Ima memberikan saya suntikan semangat bukan main. Ima meyakinkan saya untuk memulai, meyakinkan saya bahwa saya memiliki potensi dan dia akan menjadi orang pertama yang membeli dan menyukai apa yang saya lakukan kelak. Ima, seorang teman yang saya kenal begitu saja, tak pernah bertegur sapa sebelumnya, sedikit sekali informasi tentang Ima yang saya tahu, Ima adalah teman dari teman saya dan admin akun info jajanan enak di Makassar. Hanya itu. Tapi sore itu Ima menjadi seorang teman yang memberi cerita baik, perenungan dan menyemangati saya dengan luar biasa. Saya berpikir kemungkinan macam apa yang akan saya temui bila saya menunda keluar dari kos beberapa menit saja? Saya pasti takkan berpapasan dengan Ima. Jika hari itu saya menunda beberapa menit keluar dari kos, maka sore itu menuju cafe, saya habiskan dengan duduk di angkot, mengeluarkan hp membaca e-book dari novel yang tengah saya habiskan atau hanya duduk begitu saja sembari menunggu sampai di tempat tujuan.

Hari itu saya bersyukur telah membuat satu keputusan yang tepat untuk keluar dari kos lebih cepat beberapa menit, saya bersyukur sore itu Ima membonceng temannya pulang ke Wesabbe, Ima memiliki janji dengan temannya sore itu juga, saya memutuskan di menit-menit terakhir untuk bertemu di cafe itu (sebelumnya saya merekomendasikan tempat lain kepada teman saya yang pada akhirnya saya bilang kita di Secangkir Kopi saja dan teman saya setuju), yang ternyata searah dengan tempat janjian Ima. Semua kemungkinan itu menghasilkan satu kenangan baik yang saya simpan di kepala tentang Ima. Kemungkinan-kemungkinan itu membawa saya bertemu dengan Ima.

Bertemu Ima hari itu adalah hasil dari keinginan menghindari macet dan hasil dari banyak kemungkinan yang ada. Saya percaya, tidak ada yang sia-sia dengan sebuah pertemuan, tiap-tiapnya meninggalkan cerita baik. Sungguh sore menyenangkan bisa bertukar cerita dengan Ima, terimakasih untuk dorongan semangatnya, semoga Ima senantiasa sehat, cukup berani "memulai" juga dan senantiasa dilimpahi cinta dari orang-orang sekitar. Doakan kelak kumpulan kertas-kertas dengan namaku di bagian depannya itu sampai di tangan Ima.
Pertemuan memang hasil dari manusia memperkecil kemungkinan yang ada. Bagiku, bertemu Ima, misalnya. :)

Benang Kusut di Kepala #2

Wednesday, 11 July 2018
Beberapa waktu ini ada beberapa hal yang sungguh mengganggu diri saya. Apa saja?
Saya ingin membaginya kepada teman-teman lewat tulisan ini, barangkali benang kusut kita sama, bila berjumpa satu waktu, mari kita bicara tentang hal ini. Saya percaya salahsatu cara menyembuhkan diri sendiri adalah dengan bertukar cerita.

Benang kusut pertama adalah body shaming. Lagi marak banget isu ini, iya kan? Saya pernah mengalami hal ini, sekedar mencairkan suasana atau basa basi saat pertama ketemu, seorang kenalan saya mengomentari tentang kekurangan fisik saya, saat itu kalimatnya “Unhy makin besar ya?”, awalnya saya menanggapinya dengan santai, lama kelamaan ternyata beberapa teman saya suka basa basi dengan hal itu. Entah alasannya karena memang saya terlihat besar dalam artian gemuk atau hanya sekedar basa basi belaka demi mencairkan suasana saat nongkrong. Saya mulai merasa benar-benar terganggu ketika salah seorang kenalan yg saat itu bisa dihitung baru dua kali kami bertemu dan saat pertemuan kedua kami kalimat yg dia lontarkan ketika melihat saya datang adalah kalimat itu. Dari sekian banyak kalimat bercandaan atau sekedar basa basi yang bisa dilontarkan, kenapa harus menyerang fisik orang lain sih? Sejak itu saya benar-benar risih. Sejak itu pula bila ada orang yang mengomentari kekurangan fisik saya, saya memilih untuk tetap santai saja dan berjanji dalam hati kalimat-kalimat itu tidak akan saya lontarkan kepada orang lain.

Efeknya apa pada saya? Awalnya saya benar-benar tidak percaya diri. Ketika berpakaian pun saya memilih baju yang bisa menutupi kegemukan badan saya. Jujur hal ini saya lakukan. Ternyata saya capek untuk terlihat sempurna di depan orang lain. Lantas belakangan ini saya memutuskan untuk lebih percaya diri lagi. Saya hilangkan pikiran-pikiran negatif akibat perkataan negatif dari mulut-mulut orang lain. Saya merasa orang lain tak berhak membuat saya merasa kerdil terhadap diri saya sendiri. Mereka tak punya hak mengontrol bagaimana saya harus terlihat di depan orang lain dan saya tidak punya kewajiban untuk menyenangkan orang lain. Saya memilih untuk menganggap perkataan negatif mereka terhadap kekurangan fisik saya adalah suatu perkataan yang datang dari mulut orang-orang yang berpikiran dangkal.
Baiknya sebelum mengomentari kekurangan orang lain, lihat dulu kekurangan apa yg kita miliki. Alangkah bagusnya bila mengomentari kekurangan fisik orang lain, pastikan terlebih dahulu dirimu sempurna. Walaupun sekedar basa basi belaka atau bercanda kelewat batas tapi efeknya sangat besar terhadap diri seseorang, bayangkan efeknya ke kepercayaan diri. Bisa jadi lebih parahnya lagi seseorang menjadi minder berlebihan dan tidak ingin bersosialisasi karena menganggap lingkungannya tidak bisa menerima kekurangan dirinya. Jadi hati-hati ya teman-teman, kadang kita bercanda suka kelewatan, memang lucu, suasana nongkrong jadi lebih nyaman tapi ingat kita tidak pernah tahu seberapa besar dampak bercandaan kita pada orang lain. Pandai-pandai memilih kalimat yang positif, kalau yang dikatakan positif kan untungnya bukan hanya untuk mereka yg mendengar, tapi untuk kita juga. Kita jadi lebih memiliki pengaruh positif untuk orang lain dan diri sendiri. Diri sendiri ini poin pentingnya. 

Benang kusut kedua adalah persoalan seberapa perlunya kita untuk melihat kedalam diri sendiri. Nah ini yang paling sering kita lupakan, tak kita hiraukan, padahal ini paling penting paling kita butuh dan yang harus selalu kita lakukan. Melihat kedalam diri kita. Jangan mau kehilangan diri kita dengan kehadiran orang lain, bahkan jangan sekali-kali kehilangan diri kita setelah dilukai orang lain. Tanamkan dalam diri “orang lain tak berhak mengambil porsi begitu banyak dalam diri kita sendiri.”

Contoh kecil dalam hubungan asmara misalnya, ketika ditinggalkan beberapa orang merasa lebih bahagia bila bersikap seolah-olah mereka berada di pihak yg tersakiti. Tanpa duduk melihat, merenung dan lebih berpikir lagi kenapa bisa menjadi luka akhirnya? Memang sebagian kita susah untuk melihat lebih dalam ke diri sendiri. Tak jadi soal sebenarnya, itu adalah bagian dari strategi pertahanan diri. Dengan begitu mereka akan lebih cepat bahagia dan menyembuhkan luka. Tapi jangan lupa, MELIHAT KE DALAM DIRI SENDIRI ADALAH KOENTJI. Usahakan lebih jeli melihat kesalahan diri sendiri terlebih dahulu. Dengan begitu, kesalahan di masa depan bisa diminimalisir. Manusia hakikatnya belajar, bila mengulangi kesalahan yg sama lagi artinya mereka sendiri senang menoreh luka di badan sendiri.
Menoreh luka di badan sendiri, jangan mau seperti ini. Kau akan merasa perihnya 10x lipat dibanding dilukai oleh orang lain. Jangan bodoh juga karena melukai diri sendiri, apalagi dengan hal-hal yang sebenarnya bisa dipelajari dari masa lalu. Jangan menyakiti, jangan merugikan diri sendiri. Jangan menjadi bodoh. Paling penting mau mengakui bahwa kita mengambil andil dalam luka yang orang lain torehkan, iya ini yang penting menurutku. Saya juga sering seperti ini, sering mengingkari bahwa orang lain menyakiti saya murni karena mereka jahat dan kejam pada saya, tanpa saya menyadari bahwa saya juga ambil andil dalam luka yang berhasil mereka beri kepada saya. Sikap emosian, kadang arogan, keras kepala dan sikap-sikap lainnya yang ternyata tak bisa mereka terima ibarat menjadi minyak bagi mereka untuk menyulut api membakar saya. Dengan mengakui hal ini, saya belajar banyak. Penerimaan diri adalah hal utama dalam menjalin hubungan asmara , hubungan sosial dengan orang lain. Menerima dan mau melihat ke diri sendiri sebenarnya kita kenapa dan harus bagaimana. Beberapa waktu ini saya menjadi senang ke tempat-tempat yang membuat saya merasa tenang dan nyaman sendirian. Padahal dulunya semasa SMA sampai kuliah semester 5 saya adalah pribadi yang tak bisa sendiri, dalam artian saya tidak menyukai kesunyian, saya lebih senang bertemu teman-teman, ngumpul dan ngobrolin apa saja. Tapi beberapa waktu belakangan ini saya menjadi pribadi yang senang dengan kesunyian dan ketenangan, saya memilih duduk di pojokan dengan membawa laptop atau buku yang sedang saya baca di coffee shop, duduk berjam-jam dan berkutat dengan diri saya sendiri.

Banyak yang saya pikirkan saat itu, antara lain mau jadi apa saya? Apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup? Apa yang benar-benar saya butuhkan dalam hidup? Kenapa dia dulu memilih meninggalkan saya? Bahkan sampai ke pertanyaan apakah seorang Ian adalah lelaki yg tepat bagi saya?  Saya sampai ke pertanyaan-pertanyaan itu. Dari situ banyak yang saya simpulkan,banyak pula yang tidak bisa saya simpulkan. Namun yang pasti saya sadar, melihat kedalam diri sendiri adalah sebuah keharusan.

Benang kusut ketiga adalah persoalan istirahat. Istirahat dari apa? Dari segala yang melelahkanmu, dari segala yang menguras pikiranmu. Terkadang kita suka lupa diri dan bertingkah berlebihan tanpa memikirkan apakah yang kita lakukan baik untuk diri sendiri atau tidak, apakah yang kita lakukan tidak merusak harga diri atau tidak.  Seringkali kita lupa kalau orang lain punya mata dan mulut untuk melihat dan berbicara tentang diri kita. Bukan karena mereka iri dengan diri kita, hanya saja percayalah terkadang kita butuh mulut orang lain untuk membuat kita mau melihat kedalam diri kita.

Perihal ini saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang mau berbicara apa adanya, yang tak segan menegur dengan keras bila menurut mereka hal yang saya lakukan adalah salah. Mereka akan dengan keras menegur saya. Saya bersyukur memiliki lingkaran pertemanan yang tidak hanya mampu berkata manis, melainkan mampu juga berkata pahit kepada saya. Bila kau  berada di lingkaran pertemanan sehat seperti ini, syukuri dan pertahankan.

Itulah beberapa benang kusut di kepala saya, bagaimana dengan benang kusut di kepalamu?

Ambon, 11 Juli 2018.



Papa

Monday, 23 April 2018
Sore ini saya mengingat semua yg pernah papa saya lakukan untuk saya. Saya mengingatnya satu persatu dan menemukan begitu banyak kebaikan papa kpd anaknya ini. Sedangkan saya? Kebaikanku pada papa msh jauh dari yang bisa dihitung. Tak ada apa-apanya. Satupun tak ada.

Papa adalah orang terbaik yang keberadaannya dalam hidup ini tidak akan pernah saya sesali sedikitpun. Papa adalah sosok ayah yang paling bisa mengontrol emosi didepan anak-anaknya, yang paling sabar, yang selalu berusaha mewujudkan semua keinginan anak-anaknya tercapai, semua kebutuhan anak-anaknya beliau terpenuhi walaupun seringkali harus sembunyi-sembunyi dari Ibu tapi Papa selalu mengusahakannya karena tidak mau mengecewakan putri-putrinya. Setiap kali saya menitipkan jajan ketika beliau sedang pergi, misalnya, papa akan berjalan ke arah samping rumah, memanggil namaku di bawah jendela kamar dan memberi sekantong jajan yang saya minta, dengan cara begitu ibu takkan memarahiku karena selalu saja jajan. Papa yang akan selalu mengirim pesan singkat menyemangatiku tiap kali saya akan mengikuti kegiatan dari jaman sekolah sampai kuliah dan tetap menjadi yg pertama memberikan selamat setiap kali saya berhasil menyelesaikan kegiatan, perlombaan dll. Saya akan menemukan "Papa bangga deng ade" di layar hp saya yang beberapa menit setelah itu akan kudengar suara papa diujung sana.

Papa adalah orang yang akan datang ketika mendapatkan kabar dari sekolah ketika anaknya ini pingsan karena cuaca terlalu dingin saat itu, Papa yang akan selalu menemani anak bungsunya ini belajar sampai malam atau menonton film kesukaan anaknya, walaupun terkadang Papa akan tidur duluan di kursi. Papa yang hampir setiap malam minggu akan mengajak saya pergi makan coto makassar atau es palu butung di daerah Masjid Jami' tempat langganan kita berdua. Papa yang selalu membelikan benda-benda lucu berwarna ungu atau membelikan alat tulis menulis yang lucu karena tahu betul anak bungsunya ini mengoleksi benda-benda seperti itu saat duduk di bangku sekolah dasar dulu.

Papa yang ketika saya sakit, akan selalu datang ke kamar melihat keadaanku, membaca shalawat dan mengelus daerah yang sakit. Siapa yg kotak obatnya paling lengkap? Siapa yg kalau anaknya sakit sedikit sudah buka kotak obat kasi minum obat panadol, bodrexyn, promag dan lain lain? Papa. Ya, Papa.

Papa yang ketika pertama kali saya jauh dari rumah, pertama kali saya melempar mimpi di kota orang beliau mengantar dengan wajah penuh senyum dan selalu mengingatkan untuk tetap jaga sholat dan makan. Papa yang bila saya telepon untuk meminta izin ke luar daerah, hal pertama yg beliau tanya adalah "Disana dingin nak?," karena beliau tahu betul bagaimana tubuh saya bereaksi berlebihan terhadap udara dingin.  Pertanyaan itu akan diikuti dengan seabrek list yg beliau ingatkan untuk bisa mengatasi kelemahan saya dalam menghadapi udara dingin.

Papa yang ketika saya kecelakaan dan kaki kiri saya tidak bisa digerakkan, yang saat itu harus dibantu dengan tongkat, Papa adalah orang yg menemani saya berobat bahkan ikut menangis ketika kaki kiri saya yang kaku itu dipijit dan saya berteriak kesakitan, tangan Papa yang saya genggam. Papa yang ketika saya ingin buang air besar tengah malam, saya hanya perlu menelpon sekali dua kali dering saja, beliau akan bangun dan berdiri di depan kamar menunggu saya keluar dan membantu saya berjalan menuju toilet dengan susah payah dan selalu bertanya dari luar "Ade bisa nak? Kaki bisa sayang?" saya akan menjawab bahwa bisa, tapi beliau akan kembali bertanya semenit sekali dengan pertanyaan yang sama.
Kesabaran beliau adalah perwujudan kata cinta dan kasih sayang yang jarang beliau ungkapkan, tapi terpancar begitu jelas dari setiap senyum, dari mata berbinar-binar ketika mendengar cerita anak-anaknya dan yg dengan sabar mendengar dan menghadapi keluh kesah anak-anaknya terutama saya.

Papa, yang selalu duduk di depan rumah menunggu saya pulang, yang selalu jago dan enak membuat colo-colo (sambal khas ambon, pakai lemon cina, tomat, cili dan bawang merah serta sedikit air) saat saya ingin makan. Papa yang selalu ke kamar menunggu saya bercerita tentang hari-hari saya, menunggu cerita-cerita saya tentang apapun itu walaupun sebelumnya sudah beliau dengar tapi beliau tetap meminta saya untuk menceritakan kembali dan selalu antusias dan senyum tiap kali mendengar saya bercerita. Begitulah pria yang bergelar Papa, kata pertama yg bisa saya sebut begitu mulut, lidah dan otak saya bekerjasama mengenal dan menangkap informasi di sekeliling saya.

Beberapa waktu ini Papa sakit. Saat pertama kali mengetahuinya, hati saya begitu sakit. Setibanya di rumah, saya melihat Papa saya berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Tak sekuat dulu, tapi tetap bisa menemukan senyum di wajahnya, tidak berkomunikasi seperti dulu tapi beliau tetap menyimak ketika saya berbicara, terkadang tak mengenaliku, tapi saya yang akan selalu mengingatkan beliau, tak apa. Jauh di alam pikirnya, saya tahu beliau mengenal saya lebih dari siapapun mengenal saya.

"Jangan sakit Pa", ingin rasanya saya berkata seperti itu tapi sakitpun adalah rejeki dari Sang Pemilik Kehidupan. Ketika saya mengantar beliau ke kamar tiap malam, Papa akan memandangku lama dan berkata "Maaf papa merepotkan unhy" atau "ini unhy toh? Papa pung anak." Buru-buru saya akan menyeka airmata yg sudah ada diujung pelupuk mata. Bagaimana bisa Papa bilang merepotkanku ketika anakmu ini yang terlebih dahulu sudah banyak merepotkanmu,  Papa? Sungguh sedikitpun menjagamu tidak ada arti apa-apa, tidak bisa membalas sedikitpun perhatian dan penjagaanmu selama ini Pa.

Maka, sehat-sehatlah Pa. Tak ada satupun orang di muka bumi ini yang paling anakmu mau kesehatannya kesembuhannya, selain dirimu, Pa. Sehat-sehatlah kedua surgaku, Papa dan Ibu. Sehat-sehatlah, sungguh Allah Maha Penyembuh, hanya padaNya semua ikhtiar kami untuk kesembuhan Papa, untuk kesehatan Ibu. Sakit datangnya dariNya, maka penawarnya dariNya jua.

Ade sayang Papa ❤

Yang selalu memohon kesembuhanmu dan mencintaimu, putri bungsumu.